Kamis, 28 Oktober 2010

Penulisan Al-Qur’an

Penulisan Al-Qur’an

Mengenai Penulisan Al-Qur’an, sudah dimulai sejak zaman Rasul Saw menerima wahyu, para penulis itupun dipanggilnya untuk menulis dan mencatatnya di samping shahabat-shahabat yang menghapalnya. Tidak kurang dari 48 yang menjadi Juru tulis Nabi Saw adalah Zaid bin Tsabit. Sebelum Nabi Saw wafat, Al-Qur’an secara kesluruhan telah tampung penulisannya dengan urutan surah-surah dan ayat-ayat berdasarkan petunjuk Rasul sae sendiri. Penulisan pada masa rasul Saw ini masih menggunakan alat- alat yang sederhana, seperti pelepah kurma, lempengan-lempengan batu dan kepingan-kepingan tulang, sehingga sulit untuk dihimpun dalam satu kumpulan. Sedangkan tulisannya menggunakan huruf Kafi (huruf-huruf yang berbentuk garis lurus tanpa titik dan baris).
Pada masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, atas usul Umar bin Khathab Al-Qur’an ditulis ulang dengan menggunakan lembaran-lembaran kertas atau suhuf. Suhuf yang bertulisan Al-Qur’an itu lalu diikat dengan benang sehingga membentuk satu mushaf (kumpulan lembaran). Penulisan dilakukan oleh Zaid bin Tsabit, dibantu oleh Ubay bin Ka’ad, Ali bin Abu Thalib, Utsman bin Affan dan beberapa shahabat qurr 9pembaca-pembaca) lainnya. Mushaf disimpan Abu Bakar sampai beliau wafat, dan ketika Ummar bin Khatab menjadi Khalifah, mushaf itu berada dibawah penguasaannya. Setelah Ummah bin Khatab wafat mushaf tersebut di simpan di rumah St. Hafsah (putri Ummar dan istri Rasulullah Saw.)
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, timbul perbedaan pendapat di kalalngan ummat Islam mengenai masalah qiroah (cara membaca Al-Qur’an). Perbedaan pendapat ini bermula dari Rasul keapda qobilah-qobilah Arab yang ada pada masa itu untuk membaca dan menghafalkan Al-Qur’an menurut lahjah (dialek) mereka masing-masing. Kelonggaran itu dimaksudkan oleh Rosul Saw agar mereka mudah menghafal Al-Qur’an.
Tetapi dalam perkembangan Islam kemudian, terutama setelah bangsa-bangsa yang memeluk Islam semakin beragam sebagai akibat dari bertambah luasnya daerah Islam, car membaca Al-Qur’an pun menjadi semakin bervariasi sesuai dengan dialek masing-masing. Hal inilah yang menimbulkan perselisihan masalah qiroah. Masing-masing kabilah menganggap dialeknya yang benar, sedangkan dialek lainnya salah.
Menanggapi hal ini shahabat Hudzaifah bin Yaman mengusulkan kepada Khalifah Utsman agar menetapkan aturan penyeragaman bacaan Al-Qur’an dengan membuat mushaf Al-Qur’an standar yang akan dijadikan bagi seluruh ummat Islam di berbagai wilayah.
Merespon usul Khudzaifah, Khalifah Utsman lalu membentuk lajnah (panitia) yang terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua dengan anggota-anggotanya ialah Abdullah bin Zubair, Sa’id bin As Abdurrahman bin Harits. Utsman lalu meminjam mushaf yang tersimpan di rumah Hafsah dan memberkannya kepada panitia yang telah terbentuk.
Tugas utama panitia adalah menyalin mushaf kedalam beberapa naskah sambil menyeragamkan dialek yang digunakan, yaitu dialek Quraisy (Al Quraisy). Al-Qur’an yang telah disusun dialek yang seragam itu disebut Mushaf Utsmani. Semuanya berjumlah lima buah. Satumushaf disimpan di Madinah, empat mushaf lainnya dikirimkan ke Makkah, Suriah, Basrih dan Kuffah untuk disalin dan diperbanyak. Selanjutnya Khalifah Utsman memerintahkan agar mengumpulkan semua tulisan Al-Qur’an selain Mushaf Utsmani untuk dimusnahkan hanya boleh boleh menyain dan memperbanyak tulisan Al-Qur’an dari mushaf yang resmi, yaitu mushaf Utsmani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar