Sabtu, 22 Desember 2012


HUKUM KEWARISAN ANAK ZINA
DAN ANAK ANGKAT

Makalah Ini Diajukan Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah: Hukum Kewarisan Islam
Dosen Pengampu: Drs.RIYANTA, M.Hum.
                 



                                                                        Disusun Oleh:
Kelompok  5 - MU C
         Susi Nurkholidah           ( 11380060 )
          Fahrurrozi                     ( 11380061 )
          Yudha Kurniawan          ( 11380079 )


JURUSAN MUAMALAT
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012/2013


 BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang
            Di dalam Islam terdapat bermacam status dari para anak, sesuai dengan sumber asal anak itu sendiri. Sumber asal itulah yang nantinya akan menentukan status seorang anak. Setiap keadaan menetukan kedudukanny, membawasifatnya sendiri dan memebri haknya. Hukum mengenai setatus anak berdasarkan ketnetuan ketentuan tgersebut. Dengan sendirinya, jalan yang demikian menjadikan sang anak dekat atau jauh dari ibu bapaknya, dengan adanya hubungan antara mereka yang sah atau yang tidak sah bahkan apakah hubungan yang pernah ada itu dibolehkan atau diharamkan. Hubungan antara anak dengan ibu bapaknya mempunyai syarat-syarat yang membenarkan hubungan yang ada dan terdapat antara ibu bapaknya itu. Perkawinan menentukan status anak, maka sang anak bergantung kepada perkawinan atau hubungan antara ibu dan bapak.
            Di dalam islam anak hendaklah disertai dengan nama bapaknya untuk menunjukkan keturunannya dan asal usulnya. Di dalam perkawinan fakta ini sangat dipertingkan dan rasulullah saw pernah bersabda dan berpesan mengenai masalah ini dengan ucapakan beliau yang artinya “Urat itu sangat sensitip”. Ini berarti bahwa keturunan mempengaruhi satu sama lainya. Untuk menjaga keturunan kita hendaklah ucapakan rasulullah saw. Ini mendapat perhatian serius dan pertimbangan mendalam. Dari itu, ibu bapak mempunyai suara tegas dan hak veto dalam perkawinan anak gadis mereka.





B.    Rumusan Masalah
                  Dalam penulisan makalah ini penyusun membagi rumusan masalah ke dalam enam pertanyaan sebagai berukut:
1. Apa Pengertian Anak zina ?
2. Apa landasan Sumber Hukum anak zina ?
3. Apa Pandangan Status Anak Zina Soal Kewarisan ?

4. Apa Pengertian Anak zina ?
5. Apa landasan Sumber Hukum anak zina ?
6. Apa Pandangan Status Anak Zina Soal Kewarisan ?


C.    Tujuan Penulisan
                 Adapun  tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:          
1. Untuk mengetahui Pengertian Anak zina
2. Untuk mengetahui landasan Sumber Hukum anak zina
3. Untuk mengetahui Pandangan Status Anak Zina Soal Kewarisan
4. Untuk mengetahui landasan Sumber Hukum anak angkat
5. Untuk mengetahui landasan Sumber Hukum anak angkat
6. Untuk mengetahui Pandangan Status Anak Angkat Soal Kewarisan






BAB II
PEMBAHASAN

A. Anak Zina
1.      Pengertian Anak Zina
Zina menurut Al-Jurnani adalah Memasukkan penis (zakar: Arab) ke dalam vagina (farj: Arab) bukan miliknya (bukan istrinya) dan tidak ada unsur syubhat (kekeliruan/keserupaan).[1]
Anak zina ialah anak yang dikandung oleh ibunya dari seseorang lelaki yang menggaulinya tanpa nikah yang dibenarkan oleh syara'.[2] Istilah lain anak zina adalah anak yang timbul dari perkawinan yang tidak sah. Maka “zina” itu berarti bergaul antara laki-laki dan perempuan tidak menurut ajaran islam. Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta mengatakan “zina”: perbuatan bersetubuh yang tidak sah.[3]
Kalau anak zina itu ialah anak yang timbul dari pergaulan tidak sah antara seorang pria dan wanita, hal itu berarti, bahwa pergaulan itu dapat terjadi antara siapa saja baik antara adik-kakak, ayah-anak, ibu-anak maupun dengan yang lain. Perzinaan adalah pelanggaran dari suatu perkawinan yang sah. Karena perzinaan itu berupa satu pelanggaran terhadap ketentuan perkawinan.
Misalnya, seorang perempuan tidak pernah diketahui melangsungkan akad nikah, ternyata tiba-tiba hamil. Untuk kepentingan formal yuridis, supaya bayi yang akan lahir mempunyai “bapak” formal maka dicarikan calon bapak untuk bayi tersebut. Dalam contoh itu, seseorang perlu barhati-hati menetapkan hukum nikah tersebut. Sebagian ulama berpendapat akad nikah tersebut tidak sah, kecuali apabila pernikahan itu dengan pelaku zina.meskipun demikian akibat hukumnya, si anak tetap tidak bisa dinasabkan kepada bapaknya[4].
Mayoritas Ulama membolehkan pernikahan antara pezina dengan orang lain. Perbedaan pendapat ini muncul karena perbedaan dalam memahami firman Allah:
 “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”(QS. An-nuur:3).
Ialah tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya.[5]
Ulama yang memahami ayat “wa hurrima zalika’ ala al-mu’minin” isyarat kepada nikah, maka perkawinan wanita hamil karena zina tidak sah. Mayoritas Ulama memandang perkawinan semacam ini tidak pantas dilakukan orang yang beriman.[6]


2.   Sumber Hukum
Kriteria minimal anak tersebut dapat dinilai anak zina berdasarkan ayat Al-Qur’an yaitu QS. Luqman ayat 14 yaitu:
 “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu.
Dari ayat ini dapat dilihat dengan jelas bahwa lama ibu mengandung dan menyusui anaknya adalah 30 bulan atau 2,5 tahun, ini berarti lama meyusui yang syari’atkan oleh Islam adalah 2 tahun maka bayi yang lahir setelah setengah tahun atau 6 bulan setelah menikah tidak dapat dikatakan anak zina, namun jika lahir sebelum umur menikah 6 bulan maka anak tersebut dapat dikatakan dengan anak zina atau anak di luar nikah.
Dengan demikian, anak yang lahir secara tidak sah tersebut terlepas semua hubungan secara hakiki terhadap jalur ayahnya termasuk hal warisan. Namun, meskipun anak tersebut berstatus anak zina, tetap menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh muslim untuk menjaga dan tidak menjelek-jelekkan atau menghina anak tersebut karena pada dasarnya yang bersalah adalah kedua orang tuanya bukan si anak. Sebagaimana Hadits nabi SAW:
Semua anak dilahirkan atas kesucian/kebersihan (dari dosa dan noda) dan semuanya beragama Islam (tauhid), sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. (HR. Abu Ya’la, Al-Thabarani dan Baihaqi dari Al-Aswad bin Sar’i).[7]
            Para Ulama sepakat bahwa bayi yang lahir kurang dari 6 bulan terhitug sejak akad nikah dilangsungkan, tidak dapat dinasabkan kepada bapaknya. Bahkan para ulama Syi’ah menegaskan bahwa anak zina, selain tidak bisa dinasabkan kepada bapaknya, juga tidak dinasabkan kepada ibunya.[8] Ini maksudnya agar setiap orang hati-hati dalam menjaga diri dan kehomatan dan keturunannya. Belum lagi soal hukumannya jika dapat saksi-saksi yang membuktikannya.
            Fatchur Rahman mengemukakan perbedaan pendapat Ulama, apakah tenggang waktu 6 bulan itu dihitung dari akad nikah atau sejak terjadinya hubungan suami-istri? Pertama, Imam Malik dan Iman Syafi’i berpendapat jika seseorang laki-laki mengawini seorang wanita yang belum pernah dikumpuli atau sudah, dalam waktu kurang dari 6 bulan kemudian wanita tersebut malahirkan anak setelah 6 bulan dari akad perkawinannya, bukan dari masa berkumpulnya, maka anak yang dilahirkan itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkan mengandung. Yang menjadi batasan adalah akad nikahnya, bukan perbuatan zinanya. Bisa saja secara biologis misalnya dengan tes darah adalah bapaknya, tetapi secara hukum tidak bisa dibenarkan. Kedua, Imam Hanafi berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu tetap dianggap berada dalam ranjang suaminya. Karena itu anak yang dilahirkan dapat dipertalikan nasabnya kepada ayah (zinanya) sebagai anak sah.[9] Dasar hukum yang digunakan adalah petunjuk umum sabda Rasulullah SAW:
“Anak itu dinasabkan kepada orang yang seranjang tidur”.(Riwayat lima orang ahli hadis)
            Tapi lebih tepatnya, pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i lebih tepat dalam konteks pemahaman ke-Indonesia. Sebagai bangsa timur yang bercorak religius, nilai-nilai etika dan moral menjadi sangat penting diaplikasikan.

3.       Pandangan Status Anak Zina Soal Kewarisan
Hukum Islam tidak menetapkan hubungan kewarisan terhadap anak zina kepada bapaknya. Itu karena tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Sedangkan hubungan kekerabatan tersebut timbul karena adanya ikatan nikah, sehingga anak di luar nikah tidak dapat dijadikan hubungan kekerbatan untuk mendapatkan warisan.
Menurut Ahlul-Sunnah dan Mazhab Hanafiah menyebutkan anak zina memiliki hubungan kewarisan dengan ibu dan kerabatnya. Dengan demikian, ia hanya dapat mewarisi dari pihak ibu saja. Sedangkan golongan Syi’ah menganggap bahwa anak zina tidak mempunyai hak waris baik dari pihak laki-laki maupun perempuan karena warisan merupakan suatu nikmat bagi ahli waris sedangkan zina merupakan suatu kemaksiatan sehingga kenikmatan atau anugerah tidak dapat dicampurkan dengan kemaksiatan.[10]
Sebagian ulama (Syafi’I, Hambali, Syi’ah) berpendapat bahwa akad nikah itu merupakan sebab utama terjadinya nasab antara seseorang dengan orang tuanya. Oleh karena itu jika anak terlahir sebelum usia pernikahan enam bulan maka anak tersebut merupakan anak di luar nikah.
Maka salah satu jalan dari seorang bapak yang dia merasa bertanggung jawab dengan anaknya untuk memberikan hartanya tidak bisa lewat warisan tetapi bisa melalui hibah semasa dia masih hidup atau dengan jalan wasiat asalkan tidak melebihi sepertiga dari jumlah hartanya.

B.   Anak Angkat
  1. Pengertian Anak Angkat
Anak angkat ialah seorang anak dari seorang ibu dan bapak diambil oleh manusia lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri. Sang anak bertukar ayah dan ibu berpindah tangan. Anak itu mengambil nama oaring tua yang baru hingga terputus hubungannya dengan ibu bapak aslinya. Pemindahan ini bukan hanya pemindahan hak milik, tetapi pemindahan keturunan dengan seluruh konsekuensinya. Sang anak seakan-akan bertukar darah dagingnya dan seperti menjadi manusia baru.[11]
            Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa “Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.[12]


2.      Sumber Hukum
Dasar hukum adanya anak angkat dalam Islam adalah Surat  Al-Ahzab ayat 4 dan 5:  
Dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulam.
           
Maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seseorang yang telah dijadikan anak angkat, seperti salim anak angkat Abu Huzayfah, dipanggil Maula Abi Huzayfah[13]
            Ulama kontemporer seperti Yusuf  al-Qaradlawi berpandangan bahwa mengangkat anak dan menisbahkan nasab pada bapak angkat adalah haram. Apalagi apabila pembagian warisan bagia anak angak disamakan dengan anak sendiri.[14]             Manfaatnya adalah mengaku-ngaku bapak yang bukan bapaknya. Adapun memelihara anak orang lain atau anak yatim tentu saja perbuatan mulia, namun memposisikan anak angkat menjadi ahli waris suatu hal yang bertantangan dengan ketentuan nas. Dalam Islam, ada batasan kewajiban orang tua menafkahi anak-anaknya, yaitu hingga menginjak usia dewasa atau 21 tahun. Selebihnya orang tua tidak wajib lagi memberi nafkah, sianak berusaha sendiri mencari nafkah untuk hidupnya dan terlebih mereka yang telah berumah tangga. Hal ini hendaknya melahirkan pemahaman yang positif bahwa efek sipil bahwa orang tua memiliki tanggung jawab untuk memelihara anaknya hingga ia mandiri.

3.  Pandangan Status Anak Angkat Soal Kewarisan
            Berkenaan dengan hal tersebut, kalangan ulama mazhab mengajukan pemikiran bahwa solusi memberikan harta waris kepada anak angkat adalah melalui konsep wasiat wajibah.
“diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban aas orang orang yang bertakwa (QS. Al baqarah : 180)
Wasiat wajibah :
Dalam fiqih islam wasiat wajibah didasarkan pada suatu pemikiran, di satu sisi dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan kepada orang orang yang dekat dengan pewaris tetapi secara syar’i tidak memperoleh bagian dari jalur faraidh, pada sisi lain : keempat imam mazhab telah mengharamkannya, jika hal itu akan memberikan madharat bagi ahli waris.[15]
Ada beberapa alasan yang menyebabkan anak angkat dapat memperoleh wasiat wajibah, diantaranya sebagai berikut
  1. bahwa dalam islam, anak angkat dibolehkan sebatas pemeliharaan, penayoman, dan pendidikan; dan dilarang memberi status sebagai layaknya anak kandung. Kalimat ini hendaklah dimuat dalam pertimbangan hukum, setiap putusan pengangkatan anak oleh pengadilan agama.
  2. Bahwa anak angkat dapat memperoleh harta dari orang tua angkatnya berdasarkan wasiat yang besarnya tidak boleh melebihi 1/3 harta orang tua angkatnya yang telah meninggal dunia, bila oirang tua angkatnya tidak meninggalkan waiat ia dapat diberi berdasarkan wasiat wajibahnya.
  3. Bahwa pemberian wasiat wajibah tidak boleh merugiakan hak hak dari ahli waris, jika orang tuanya tidak cukup memiliki harta maka tidak diperkenankan untuk berwasiat atau memberikan wasiat wajibah, karena hal itu sama dengan memperlakukan seperti anak kandung.
  4. Bahwa bila ada sengketa tentang status anak angkat maka dibuktikan dengan adanya putusan pengadilan.
e. Bahwa bila ada sengketa tentang wasiat atau wasiat wajibah bagi anak angkat, maka harus ada putusan pengadilan yang menyatakan anak angat tersbut berhak atau tidak mendapat wasiat wajibah.[16]
Asas wasiat wajibah, maksudnya anak angkat dan ayah angkat secara timbal balik dapat melakukan wasiat tentang harta masing-masing, bila tidak ada wasiat dari anak angkat kepada ayah angkat atau sebaliknya, maka ayah angkat/ anak angkat dapat diberi wasiat wajibah oleh Pengadilan Agama, maksimalnya 1/3 bagian harta warisan (Pasal 209 KHI)

            Telah dikeluarkan undang-undang wasiat wajibah nomor 71  tahun 1356 H/1946 M di mesir, UU ini secara umum mengandung hukum-hukum sebagai berikut:
a.       apabila pewaris tidak mewasiatkan kepada keturunan dari anak laik-lakinya yang telah meninggal lebih dahulu, atau meninggal secara bersamaan, maka cucu dari anak laki laki tersebut wajib mendapat wasiat wajibah dari harata warisan pewaris sebesar bagian anak laki-laki pewaris tersebut, tetapi tidak boleh melebihi 1/3 harta warisan, dengan syarat cucu tersebut bukan ahli waris dan belum ada bagian untuknya melalui jalan lain (hibah). Bila hibah tesebut lebih sedikit dari bagian wasiat wajibah, maka harus ditambahkan kekurangannya.
b.      Wasiat demikian diberikan kepada golongan tingkat pertama dari anak laki laki , dari anak perempuan, dan kepada anak laki laki dari anak laki laki dari garis laki laki dan seterusnya ke bawah dengan syarat setiap orang tua menghijab anaknya.
c.       Apabila pewaris mewasiatkan kepada orang yang wajib diwasiati dengan wasiat yang melebih bagiannya, maka kelebihan wasiat itu merupakan wasiat ikhtyarah. Dan bila dia mewasiatkan kepadanya dengan wasiat yang kuran dari bagiannya, maka wajib disempurnakan. Bila dia mewasiatkan kepada sebagian orang yang wajib diwasiati dan tgidak kepda sebagaian yang lain, maka ornag yang tidak mendapatkan wasiat itu wjib diberi kadar bagiannya. Orang yang tidak diberi wsiat wajibah dikurangi bagiannya dan dipenuhi baigan yang mendapat wasiat yang kurang dari apa yang diwajibkan, dari sisanya 1/3. bila hartanya kurang, maka diambilkan dari bagian orang yang tdiak mendapat wasiat wajibah dan dari orang yang mendapat wasiat ikhtiyarah.
d.      Wasiat wajibah itu didahulukan atas wasiat wasiat yang lain. Bila pewaris tidak mewsiatkan kepda orangyang wajib diwsiati dan dia mewasiatkan kepada orang lain, maka orang yang wajib diberikan wasiat wajibah tersebut adalah mengambil kadar bagiannya dari sisa dari 1/3 harta warisan bila sisa itu cukup, bila tidak maka dari 1/3 dan dari bagian yang diwasiatkan bukan dengan wasiat wajibah.[17]


KESIMPULAN

            Anak zina ialah anak yang dikandung oleh ibunya dari seseorang lelaki yang menggaulinya tanpa nikah yang dibenarkan oleh syara'. Istilah lain anak zina adalah anak yang timbul dari perkawinan yang tidak sah.
            Dengan demikian, anak yang lahir secara tidak sah tersebut terlepas semua hubungan secara hakiki terhadap jalur ayahnya termasuk hal warisan. Namun, meskipun anak tersebut berstatus anak zina, tetap menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh muslim untuk menjaga dan tidak menjelek-jelekkan
Hukum Islam tidak menetapkan hubungan kewarisan terhadap anak zina kepada bapaknya. Itu karena tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Sedangkan hubungan kekerabatan tersebut timbul karena adanya ikatan nikah, sehingga anak di luar nikah tidak dapat dijadikan hubungan kekerbatan untuk mendapatkan warisan.
            Anak angkat ialah seorang anak dari seorang ibu dan bapak diambil oleh manusia lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri. Sang anak bertukar ayah dan ibu berpindah tangan.
            Ulama kontemporer seperti Yusuf  al-Qaradlawi berpandangan bahwa mengangkat anak dan menisbahkan nasab pada bapak angkat adalah haram. Apalagi apabila pembagian warisan bagia anak angak disamakan dengan anak sendiri.
            Kalangan ulama mazhab mengajukan pemikiran bahwa solusi memberikan harta waris kepada anak angkat adalah melalui konsep wasiat wajibah. Asas wasiat wajibah, maksudnya anak angkat dan ayah angkat secara timbal balik dapat melakukan wasiat tentang harta masing-masing, bila tidak ada wasiat dari anak angkat kepada ayah angkat atau sebaliknya, maka ayah angkat/ anak angkat dapat diberi wasiat wajibah oleh Pengadilan Agama, maksimalnya 1/3 bagian harta warisan


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris,(Jakarta:Rajawali press,1993)
Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,1991
                   Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqhul Mawaris,(Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
        Terjemah Al-Jumanatul ali Al-Qur’an (Bandung: J-art,2004)
Kompilasi Hukum islam (hukum perkawinan,kewarisan dan perwakafan),( bandung, nuansa aulia,cet ke-4 2012)




[1] Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1993), hal. 33.
[2] Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqhul Mawaris,(Jakarta: Bulan Bintang, 1973),hlm.282
[3] Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,1991),hal 78
[4] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris,(Jakarta:Rajawali press,1993), hal 127
[5] Terjemah Al-Jumanatul ali Al-Qur’an (Bandung: J-art,2004), hal.351
[6] Ibn Rusyd,op.cit.,hal. 30.

[7] Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1993), hal. 38
[8] Al-Kazimi al-Qazwiny,al-Syi’ah fi’Aqaidihim wa Ahkamihim, Beirut: Dar al-Zahra’,1397/1977, hal.229.
[9] Facthur Rahman, op.cit., hal.221
[10] Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1993), hal. 180.
[11] Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,1991, hal 47
[12] Kompilasi Hukum islam (hukum perkawinan,kewarisan dan perwakafan),( bandung, nuansa aulia,cet ke-4 2012)
[13] Terjemah Al-Jumanatul ali Al-Qur’an (Bandung: J-art,2004) hal.418
[14] Yusuf al-Qaradlawi, al Halal Wal Haram fil Islam, (Beirut: al Maktab al Islami, 1994),hal. 206-209
[15] Siyyid Sabiq, Op. cit., vol.III hal. 1024
[16] H. Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,(Jakarta: Kencana,2011),hal 170
[17] Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut Libanon: Dar al-Fiqri. 1392), Jus: III, hal.1024. Terjemah: Drs. Mudzakir A.S., Fiqh Sunnah 14, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1987), Cet.Pertama, hal. 316-317.
                                                                                                                      

Selasa, 28 Agustus 2012

MUAMALAT


  Pengertian mu’amalat 
 
Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang berkodrat hidup dalam masyarakat. Sebagai makhluk sosial, dalam hidupnya manusia memerlukan adanya manusia-manusia lain yang bersama-sama hidup dalam masyarakat, manusia selalu berhubungan dengan manusia yang lain, disadari atau tidak untuk mencukupi kebutuhan-keutuhan hidupnya. Pergaulan hidup tempat setiap orang melakukan perbuatan dalam hubungannya dengan orang-orang lain inilah yang disebut dengan mu’amalat.
Dalam pergaulan hidup ini, tiap-tiap orang mempunyai kepentingan terhadap orang lain. Timbullah dalam pergaulan hidup ini hubungan antara hak dan kewajiban. Patokan-patokan hukum yang mengatur hubungan hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat itu disebut dengan hukum mu’amalat.
Dalam mengadakan klasifikasi aspek-aspek hukum islam, para fuqaha’ membatasi pembicaraan hukum muamalat dalam urusan-urusan perdata yang menyangkut hubungan kebendaan. Dalam hukum muamalat dibicarakan pengertian benda dan macam-macamnya, hubungan manusia dengan benda yang menyangkut hak-milik, pencabutan hak milik perikatan-perikatan tertentu,seperti jual beli, utang-piutang, sewa-menyewa, dsb.
Kedudukan mu’amalat
Agama islam menempatkan bidang mu’amalat ini sedemikian penting, sampai hadits Nabi mengajarkan bahwa agama adalah mu’amalat.
Kedudukan muamalat “hukum yang lima”
-   mubah
-   sunnah
-   wajib
-   makruh
-   haram
Nilai-nilai agama dalam bidang mu’amalat itu dicerminkan dalam adanya hukum halal dan haram yang selalu harus diperhatikan. Misalnya, akad jual-beli adalah mu’amalat yang halal : akad utang-piutang dengan riba adalah mu’amalah yang haram dan sebagainya. Dalam mu’amalah yang pada dasarnya halah masih mungkin terdapat hukum halal dan haram juga, misalnya akad jual-beli yang mengandung unsur-unsur penipuan adalah haram, berdagang minuman keras bagi kaum muslimin adalah haram.
Sumber-sumber mua’amalat
Sumber-sumber mua’amalat adalah :
-         Al-Quran,memberikan ketentuan-ketentuan hukum mu’amalat sebagian besar berbentuk kaidah-kaidah umum; kecuali itu, jumlahnya pun amat sedikit. Misalya dalam s.Al-Baqara: 188 terdapat larangan makan harta dengan cara yang tidak sah, antara lain memalui suap. Dalam An-Nisa’: 29 terdapat ketentuan bahwa perdagangan atas dasar suka rela adalah salah satu bentuk mu’amalat yang sah.
-         Sunnah Rosul, apabila Al-Qur’an menentukan bahwa berdagang adalah cara memperoleh rejeki yang halal, hadits-hadits Nabi memberikan keterangan perinciannya, seperti larangan menjual barang yang bukan milik penjual (tanpa memperoleh kuasa dari pemiliknya), dilarang berjul-beli buah-buahan sebelum masak (pantas dipetik)
-         Ijtihad, yaitu apabiladalam memahahi ketentuan-ketentuan hukum mu’amalat yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunah rosul belum memperoleh hasil,maka untuk memperoleh ketentuan-ketentuan hukum mu’amalat yang baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, dibutuhkan pemikiran-pemikiran baru yang disebut ijtihad.
-         Urf’ tradisi ada yang baik ada juga yang buruk sunah dialami oleh rosul .sedangkan hadis perbuatan rosul,sudah dilisankan dan yang menyebutkannya adalah para sahabat (perbedaan sunah dan hadits.)
Obyek hukum muamalat
Dalam pengertian yang terbatas yaitu hanya menyangkut urusan-urusan perdata dalam hubungan kebendaan, meliputi 3 masalah pokok :
1.      Hak dan pendukungnya
2.      Benda dan milik atas benda
3.      Perikatan hukum / akad
Prinsip-prinsip hukum mu’amalat
Hukum mu’amalat islam memilki prinsip-prinsip yang dirumuskan sbb :
  1. Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang telah ditetapkan oleh alquran dan sunnah rosul
  2. Muamalat dilakukan atas dasar suka rela tanpa mengandung unsur-unsur paksaan
  3. Muamalat dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat dalam kehidupan masyarkat
  4. Muamalat dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan, pengambilan kesempatan dalam kesempitan.


 sumber :
Azhar Basjir,Ahmad.1993,Asas-asas Hukum Muamalat,Yogyakarta:Perpustakaan Fakultas Hukum UII


 
 

Minggu, 05 Agustus 2012

          PUISI AZURA

          Terkadang senyum dalam kesedihan
                     Sangat berat
           Senyum saat bahagia
                     Lebih dari berat
   Ya, semua mengatakan begitu
    Mudah, tapi ketika menjalani butuh
                     Waktu beradabtasi
    Ketika semua berlalu, pergimeninggalkanmu
    Apakah yang kau lakukan???
    Ketika seorang teman menikammu
    Dengan kata-kata, dari belakang.
    Apakah yang kau lakukan???
                     Harus tersenyum???
                     Perlu jawaban tentang itu.


                                                        ~☺~ aiydha azura zurnira ~☺~



Sabtu, 04 Agustus 2012

puisi azura


                                                      ~ Bayangan ~

                   Mata itu
                   Tatapan itu
                   Menghiasi benakku yang kian kelam
                   Entahlah apa itu
                   Semua terasa terhenti, bumi seakan terhenti
                   Ketika berpapasan dengannya.

Saat mata terbuka dan terpejam
Hanya bayangan itu yang datang
Fatamorgana meracuni semuanya
Akta darma pikiran kian tak menentu

                   Dipersimpangan jalan ini
                   Kebingungan kian merekah...

                   Bingung akan memilih
                   Kabahagiaan
                   Atau
                   Tidak sama sekali...

                                                                        ~☺aiydha azura zurnira ☺~