HUKUM
KEWARISAN ANAK ZINA
DAN ANAK
ANGKAT
Makalah Ini Diajukan Guna
Memenuhi Tugas
Kelompok
Mata Kuliah: Hukum Kewarisan Islam
Mata Kuliah: Hukum Kewarisan Islam
Dosen Pengampu:
Drs.RIYANTA,
M.Hum.
Disusun
Oleh:
Kelompok 5 - MU C
Susi Nurkholidah ( 11380060 )
Fahrurrozi ( 11380061 )
Yudha Kurniawan ( 11380079 )
JURUSAN MUAMALAT
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di dalam
Islam terdapat bermacam status dari para anak, sesuai dengan sumber asal anak
itu sendiri. Sumber asal itulah yang nantinya akan menentukan status seorang
anak. Setiap keadaan menetukan kedudukanny, membawasifatnya sendiri dan memebri
haknya. Hukum mengenai setatus anak berdasarkan ketnetuan ketentuan tgersebut.
Dengan sendirinya, jalan yang demikian menjadikan sang anak dekat atau jauh
dari ibu bapaknya, dengan adanya hubungan antara mereka yang sah atau yang
tidak sah bahkan apakah hubungan yang pernah ada itu dibolehkan atau
diharamkan. Hubungan antara anak dengan ibu bapaknya mempunyai syarat-syarat
yang membenarkan hubungan yang ada dan terdapat antara ibu bapaknya itu.
Perkawinan menentukan status anak, maka sang anak bergantung kepada perkawinan
atau hubungan antara ibu dan bapak.
Di dalam
islam anak hendaklah disertai dengan nama bapaknya untuk menunjukkan
keturunannya dan asal usulnya. Di dalam perkawinan fakta ini sangat
dipertingkan dan rasulullah saw pernah bersabda dan berpesan mengenai masalah
ini dengan ucapakan beliau yang artinya “Urat itu sangat sensitip”. Ini berarti
bahwa keturunan mempengaruhi satu sama lainya. Untuk menjaga keturunan kita
hendaklah ucapakan rasulullah saw. Ini mendapat perhatian serius dan
pertimbangan mendalam. Dari itu, ibu bapak mempunyai suara tegas dan hak veto
dalam perkawinan anak gadis mereka.
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini penyusun membagi rumusan
masalah ke dalam enam pertanyaan sebagai berukut:
1. Apa
Pengertian Anak zina ?
2. Apa landasan Sumber Hukum anak zina ?
3. Apa Pandangan Status Anak Zina Soal Kewarisan ?
4. Apa Pengertian Anak zina ?
5. Apa landasan Sumber Hukum anak zina ?
6.
Apa Pandangan Status Anak Zina
Soal Kewarisan ?
C. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah
ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Pengertian Anak zina
2.
Untuk mengetahui landasan Sumber Hukum anak zina
3.
Untuk mengetahui Pandangan
Status Anak Zina Soal Kewarisan
4.
Untuk mengetahui landasan Sumber Hukum anak angkat
5.
Untuk mengetahui landasan Sumber Hukum anak angkat
6.
Untuk mengetahui Pandangan
Status Anak Angkat Soal Kewarisan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anak Zina
1.
Pengertian Anak Zina
Zina menurut Al-Jurnani adalah Memasukkan penis (zakar:
Arab) ke dalam vagina (farj: Arab) bukan miliknya (bukan istrinya) dan tidak
ada unsur syubhat (kekeliruan/keserupaan).[1]
Anak zina ialah anak yang dikandung oleh ibunya dari
seseorang lelaki yang menggaulinya tanpa nikah yang dibenarkan oleh syara'.[2]
Istilah
lain anak zina adalah anak yang timbul dari
perkawinan yang tidak sah. Maka “zina” itu berarti bergaul antara laki-laki dan
perempuan tidak menurut ajaran islam. Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S
Poerwadarminta mengatakan “zina”: perbuatan bersetubuh yang tidak sah.[3]
Kalau anak zina itu ialah anak yang timbul dari pergaulan
tidak sah antara seorang pria dan wanita, hal itu berarti, bahwa pergaulan itu
dapat terjadi antara siapa saja baik antara adik-kakak, ayah-anak, ibu-anak
maupun dengan yang lain. Perzinaan adalah pelanggaran dari suatu perkawinan
yang sah. Karena perzinaan itu berupa satu pelanggaran terhadap ketentuan
perkawinan.
Misalnya, seorang perempuan tidak pernah diketahui
melangsungkan akad nikah, ternyata tiba-tiba hamil. Untuk kepentingan formal
yuridis, supaya bayi yang akan lahir mempunyai “bapak” formal maka dicarikan
calon bapak untuk bayi tersebut. Dalam contoh itu, seseorang perlu barhati-hati
menetapkan hukum nikah tersebut. Sebagian ulama berpendapat akad nikah tersebut
tidak sah, kecuali apabila pernikahan itu dengan pelaku zina.meskipun demikian
akibat hukumnya, si anak tetap tidak bisa dinasabkan kepada bapaknya[4].
Mayoritas Ulama membolehkan pernikahan antara pezina
dengan orang lain. Perbedaan pendapat ini muncul karena perbedaan dalam
memahami firman Allah:
“Laki-laki yang berzina
tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik;
dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mukmin”(QS. An-nuur:3).
Ulama yang memahami ayat “wa hurrima zalika’ ala al-mu’minin”
isyarat kepada nikah, maka perkawinan wanita hamil karena zina tidak sah.
Mayoritas Ulama memandang perkawinan semacam ini tidak pantas dilakukan orang
yang beriman.[6]
2. Sumber Hukum
Kriteria minimal anak tersebut dapat dinilai
anak zina berdasarkan ayat Al-Qur’an yaitu QS. Luqman ayat 14 yaitu:
“Dan kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
bersyukurlah kepadaKu dan
kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu.
Dari ayat ini dapat dilihat dengan jelas bahwa
lama ibu mengandung dan menyusui anaknya adalah 30 bulan atau 2,5 tahun, ini
berarti lama meyusui yang syari’atkan oleh Islam adalah 2 tahun maka bayi yang
lahir setelah setengah tahun atau 6 bulan setelah menikah tidak dapat dikatakan
anak zina, namun jika lahir sebelum umur menikah 6 bulan maka anak tersebut
dapat dikatakan dengan anak zina atau anak di luar nikah.
Dengan
demikian, anak yang lahir secara tidak sah tersebut terlepas semua hubungan
secara hakiki terhadap jalur ayahnya termasuk hal warisan. Namun, meskipun anak
tersebut berstatus anak zina, tetap menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh
muslim untuk menjaga dan tidak menjelek-jelekkan atau menghina anak tersebut
karena pada dasarnya yang bersalah adalah kedua orang tuanya bukan si anak.
Sebagaimana Hadits nabi SAW:
Semua anak
dilahirkan atas kesucian/kebersihan (dari dosa dan noda) dan semuanya beragama
Islam (tauhid), sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orangtuanyalah yang
menyebabkan anaknya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. (HR. Abu Ya’la,
Al-Thabarani dan Baihaqi dari Al-Aswad bin Sar’i).[7]
Para
Ulama sepakat bahwa bayi yang lahir kurang dari 6 bulan terhitug sejak akad
nikah dilangsungkan, tidak dapat dinasabkan kepada bapaknya. Bahkan para ulama
Syi’ah menegaskan bahwa anak zina, selain tidak bisa dinasabkan kepada
bapaknya, juga tidak dinasabkan kepada ibunya.[8] Ini maksudnya agar setiap orang hati-hati dalam menjaga
diri dan kehomatan dan keturunannya. Belum lagi soal hukumannya jika dapat saksi-saksi
yang membuktikannya.
Fatchur
Rahman mengemukakan perbedaan pendapat Ulama, apakah tenggang waktu 6 bulan itu
dihitung dari akad nikah atau sejak terjadinya hubungan suami-istri? Pertama,
Imam Malik dan Iman Syafi’i berpendapat jika seseorang laki-laki mengawini
seorang wanita yang belum pernah dikumpuli atau sudah, dalam waktu kurang dari
6 bulan kemudian wanita tersebut malahirkan anak setelah 6 bulan dari akad
perkawinannya, bukan dari masa berkumpulnya, maka anak yang dilahirkan itu
tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkan mengandung. Yang menjadi
batasan adalah akad nikahnya, bukan perbuatan zinanya. Bisa saja secara
biologis misalnya dengan tes darah adalah bapaknya, tetapi secara hukum tidak
bisa dibenarkan. Kedua, Imam Hanafi berpendapat bahwa wanita yang melahirkan
itu tetap dianggap berada dalam ranjang suaminya. Karena itu anak yang
dilahirkan dapat dipertalikan nasabnya kepada ayah (zinanya) sebagai anak sah.[9] Dasar hukum yang
digunakan adalah petunjuk umum sabda Rasulullah SAW:
“Anak itu dinasabkan kepada orang yang seranjang
tidur”.(Riwayat lima orang ahli hadis)
Tapi
lebih tepatnya, pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i lebih tepat dalam konteks
pemahaman ke-Indonesia. Sebagai bangsa timur yang bercorak religius,
nilai-nilai etika dan moral menjadi sangat penting diaplikasikan.
3.
Pandangan
Status Anak Zina Soal Kewarisan
Hukum
Islam tidak menetapkan hubungan kewarisan terhadap anak zina kepada bapaknya.
Itu karena tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Sedangkan hubungan
kekerabatan tersebut timbul karena adanya ikatan nikah, sehingga anak di luar
nikah tidak dapat dijadikan hubungan kekerbatan untuk mendapatkan warisan.
Menurut
Ahlul-Sunnah dan Mazhab Hanafiah menyebutkan anak zina memiliki hubungan
kewarisan dengan ibu dan kerabatnya. Dengan demikian, ia hanya dapat mewarisi
dari pihak ibu saja. Sedangkan golongan Syi’ah menganggap bahwa anak zina tidak
mempunyai hak waris baik dari pihak laki-laki maupun perempuan karena warisan
merupakan suatu nikmat bagi ahli waris sedangkan zina merupakan suatu
kemaksiatan sehingga kenikmatan atau anugerah tidak dapat dicampurkan dengan
kemaksiatan.[10]
Sebagian
ulama (Syafi’I, Hambali, Syi’ah) berpendapat bahwa akad nikah itu merupakan
sebab utama terjadinya nasab antara seseorang dengan orang tuanya. Oleh karena
itu jika anak terlahir sebelum usia pernikahan enam bulan maka anak tersebut
merupakan anak di luar nikah.
Maka salah
satu jalan dari seorang bapak yang dia merasa bertanggung jawab dengan anaknya
untuk memberikan hartanya tidak bisa lewat warisan tetapi bisa melalui hibah
semasa dia masih hidup atau dengan jalan wasiat asalkan tidak melebihi
sepertiga dari jumlah hartanya.
B. Anak
Angkat
- Pengertian Anak Angkat
Anak
angkat ialah seorang anak dari seorang ibu dan bapak diambil oleh manusia lain
untuk dijadikan sebagai anak sendiri. Sang anak bertukar ayah dan ibu berpindah
tangan. Anak itu mengambil nama oaring tua yang baru hingga terputus
hubungannya dengan ibu bapak aslinya. Pemindahan ini bukan hanya pemindahan hak
milik, tetapi pemindahan keturunan dengan seluruh konsekuensinya. Sang anak
seakan-akan bertukar darah dagingnya dan seperti menjadi manusia baru.[11]
Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum
Islam menyebutkan bahwa “Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan
untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung
jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan
pengadilan”.[12]
2.
Sumber
Hukum
Dasar
hukum adanya anak angkat dalam Islam adalah Surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5:
“Dan dia tidak menjadikan
anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah
perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia
menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan
jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulam.
Maula ialah
seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seseorang yang telah
dijadikan anak angkat, seperti salim anak angkat Abu Huzayfah, dipanggil Maula
Abi Huzayfah[13]
Ulama
kontemporer seperti Yusuf al-Qaradlawi
berpandangan bahwa mengangkat anak dan menisbahkan nasab pada bapak angkat
adalah haram. Apalagi apabila pembagian warisan bagia anak angak disamakan
dengan anak sendiri.[14] Manfaatnya
adalah mengaku-ngaku bapak yang bukan bapaknya. Adapun memelihara anak orang
lain atau anak yatim tentu saja perbuatan mulia, namun memposisikan anak angkat
menjadi ahli waris suatu hal yang bertantangan dengan ketentuan nas. Dalam
Islam, ada batasan kewajiban orang tua menafkahi anak-anaknya, yaitu hingga
menginjak usia dewasa atau 21 tahun. Selebihnya orang tua tidak wajib lagi
memberi nafkah, sianak berusaha sendiri mencari nafkah untuk hidupnya dan
terlebih mereka yang telah berumah tangga. Hal ini hendaknya melahirkan
pemahaman yang positif bahwa efek sipil bahwa orang tua memiliki tanggung jawab
untuk memelihara anaknya hingga ia mandiri.
3. Pandangan
Status Anak Angkat Soal Kewarisan
Berkenaan
dengan hal tersebut, kalangan
ulama mazhab mengajukan
pemikiran bahwa solusi memberikan harta waris kepada anak angkat adalah melalui
konsep wasiat wajibah.
“diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu
kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan
karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban aas orang orang yang
bertakwa (QS. Al baqarah : 180)
Wasiat wajibah :
Dalam fiqih islam wasiat wajibah didasarkan pada suatu
pemikiran, di satu sisi dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan kepada orang
orang yang dekat dengan pewaris tetapi secara syar’i tidak memperoleh bagian
dari jalur faraidh, pada sisi lain : keempat imam mazhab telah mengharamkannya,
jika hal itu akan memberikan madharat bagi ahli waris.[15]
Ada beberapa alasan yang menyebabkan anak angkat dapat
memperoleh wasiat wajibah, diantaranya sebagai berikut
- bahwa dalam
islam, anak angkat dibolehkan sebatas pemeliharaan, penayoman, dan
pendidikan; dan dilarang memberi status sebagai layaknya anak kandung.
Kalimat ini hendaklah dimuat dalam pertimbangan hukum, setiap putusan
pengangkatan anak oleh pengadilan agama.
- Bahwa anak angkat
dapat memperoleh harta dari orang tua angkatnya berdasarkan wasiat yang
besarnya tidak boleh melebihi 1/3 harta orang tua angkatnya yang telah
meninggal dunia, bila oirang tua angkatnya tidak meninggalkan waiat ia
dapat diberi berdasarkan wasiat wajibahnya.
- Bahwa pemberian
wasiat wajibah tidak boleh merugiakan hak hak dari ahli waris, jika orang
tuanya tidak cukup memiliki harta maka tidak diperkenankan untuk berwasiat
atau memberikan wasiat wajibah, karena hal itu sama dengan memperlakukan
seperti anak kandung.
- Bahwa bila ada
sengketa tentang status anak angkat maka dibuktikan dengan adanya putusan
pengadilan.
e. Bahwa bila ada sengketa tentang wasiat atau wasiat wajibah bagi anak angkat,
maka harus ada putusan pengadilan yang menyatakan anak angat tersbut berhak
atau tidak mendapat wasiat wajibah.[16]
Asas
wasiat wajibah, maksudnya anak angkat dan ayah angkat secara timbal balik dapat
melakukan wasiat tentang harta masing-masing, bila tidak ada wasiat dari anak
angkat kepada ayah angkat atau sebaliknya, maka ayah angkat/ anak angkat dapat
diberi wasiat wajibah oleh Pengadilan Agama, maksimalnya 1/3 bagian harta
warisan (Pasal 209 KHI)
Telah dikeluarkan undang-undang wasiat wajibah nomor
71 tahun 1356 H/1946 M di mesir, UU ini
secara umum mengandung hukum-hukum sebagai berikut:
a.
apabila
pewaris tidak mewasiatkan kepada
keturunan dari anak laik-lakinya
yang telah meninggal lebih dahulu, atau meninggal secara bersamaan, maka cucu
dari anak laki laki tersebut wajib mendapat wasiat wajibah dari harata warisan
pewaris sebesar bagian anak laki-laki pewaris tersebut, tetapi
tidak boleh melebihi 1/3 harta warisan, dengan syarat cucu tersebut bukan ahli
waris dan belum ada bagian untuknya melalui jalan lain (hibah). Bila hibah
tesebut lebih sedikit dari bagian
wasiat wajibah, maka harus ditambahkan kekurangannya.
b.
Wasiat
demikian diberikan kepada golongan tingkat pertama dari anak laki laki , dari
anak perempuan, dan kepada anak laki laki dari anak laki laki dari garis laki
laki dan seterusnya ke
bawah dengan syarat setiap orang tua menghijab anaknya.
c.
Apabila
pewaris mewasiatkan kepada orang yang wajib diwasiati dengan wasiat yang
melebih bagiannya, maka kelebihan wasiat itu merupakan wasiat ikhtyarah. Dan
bila dia mewasiatkan kepadanya dengan wasiat yang kuran dari bagiannya, maka
wajib disempurnakan. Bila dia mewasiatkan kepada sebagian orang yang wajib
diwasiati dan tgidak kepda sebagaian yang lain, maka ornag yang tidak
mendapatkan wasiat itu wjib diberi kadar bagiannya. Orang yang tidak diberi
wsiat wajibah dikurangi bagiannya dan dipenuhi baigan yang mendapat wasiat yang
kurang dari apa yang diwajibkan, dari sisanya 1/3. bila hartanya kurang, maka
diambilkan dari bagian orang yang tdiak mendapat wasiat wajibah dan dari orang
yang mendapat wasiat ikhtiyarah.
d.
Wasiat
wajibah itu didahulukan atas wasiat wasiat yang lain. Bila pewaris tidak
mewsiatkan kepda orangyang wajib diwsiati dan dia mewasiatkan kepada orang
lain, maka orang yang wajib diberikan wasiat wajibah tersebut adalah mengambil
kadar bagiannya dari sisa dari 1/3 harta warisan bila sisa itu cukup, bila
tidak maka dari 1/3 dan dari bagian yang diwasiatkan bukan dengan wasiat
wajibah.[17]
KESIMPULAN
Anak zina ialah anak yang dikandung oleh ibunya dari
seseorang lelaki yang menggaulinya tanpa nikah yang dibenarkan oleh syara'.
Istilah
lain anak zina adalah anak yang timbul dari
perkawinan yang tidak sah.
Dengan demikian, anak yang lahir secara tidak
sah tersebut terlepas semua hubungan secara hakiki terhadap jalur ayahnya
termasuk hal warisan. Namun, meskipun anak tersebut berstatus anak zina, tetap
menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh muslim untuk menjaga dan tidak
menjelek-jelekkan
Hukum
Islam tidak menetapkan hubungan kewarisan terhadap anak zina kepada bapaknya.
Itu karena tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Sedangkan hubungan
kekerabatan tersebut timbul karena adanya ikatan nikah, sehingga anak di luar
nikah tidak dapat dijadikan hubungan kekerbatan untuk mendapatkan warisan.
Anak angkat ialah seorang anak dari
seorang ibu dan bapak diambil oleh manusia lain untuk dijadikan sebagai anak
sendiri. Sang anak bertukar ayah dan ibu berpindah tangan.
Ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradlawi berpandangan bahwa mengangkat
anak dan menisbahkan nasab pada bapak angkat adalah haram. Apalagi apabila
pembagian warisan bagia anak angak disamakan dengan anak sendiri.
Kalangan ulama mazhab mengajukan pemikiran bahwa solusi memberikan harta waris
kepada anak angkat adalah melalui konsep wasiat wajibah. Asas wasiat wajibah,
maksudnya anak angkat dan ayah angkat secara timbal balik dapat melakukan
wasiat tentang harta masing-masing, bila tidak ada wasiat dari anak angkat
kepada ayah angkat atau sebaliknya, maka ayah angkat/ anak angkat dapat diberi
wasiat wajibah oleh Pengadilan Agama, maksimalnya 1/3 bagian harta warisan
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris,(Jakarta:Rajawali press,1993)
Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam,
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,1991
Hasbi
Ash Shiddieqy, Fiqhul Mawaris,(Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
Terjemah Al-Jumanatul ali Al-Qur’an (Bandung: J-art,2004)
Kompilasi Hukum islam (hukum
perkawinan,kewarisan dan perwakafan),( bandung, nuansa aulia,cet ke-4 2012)
[1] Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqhiyah,
(Jakarta: Haji Masagung, 1993), hal. 33.
[2]
Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqhul
Mawaris,(Jakarta: Bulan Bintang, 1973),hlm.282
[3] Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak
Dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,1991),hal 78
[4] Ahmad Rofiq, Fiqh
Mawaris,(Jakarta:Rajawali press,1993), hal 127
[5] Terjemah Al-Jumanatul ali Al-Qur’an
(Bandung: J-art,2004), hal.351
[6] Ibn Rusyd,op.cit.,hal. 30.
[7] Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqhiyah,
(Jakarta: Haji Masagung, 1993), hal. 38
[8] Al-Kazimi al-Qazwiny,al-Syi’ah
fi’Aqaidihim wa Ahkamihim, Beirut: Dar al-Zahra’,1397/1977, hal.229.
[9] Facthur Rahman, op.cit., hal.221
[10] Masjfuk Zuhdi, Masailul Fiqhiyah,
(Jakarta: Haji Masagung, 1993), hal. 180.
[11]
Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam,
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,1991, hal 47
[12] Kompilasi Hukum islam (hukum
perkawinan,kewarisan dan perwakafan),( bandung, nuansa aulia,cet ke-4 2012)
[13]
Terjemah
Al-Jumanatul ali Al-Qur’an (Bandung: J-art,2004) hal.418
[14] Yusuf al-Qaradlawi, al Halal Wal Haram fil
Islam, (Beirut: al Maktab al Islami, 1994),hal. 206-209
[15] Siyyid Sabiq, Op. cit., vol.III hal.
1024
[16]
H. Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia,(Jakarta: Kencana,2011),hal 170
[17] Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,
(Beirut Libanon: Dar al-Fiqri. 1392), Jus: III, hal.1024. Terjemah: Drs.
Mudzakir A.S., Fiqh Sunnah 14, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1987), Cet.Pertama,
hal. 316-317.